- Banyak hal yang harus dibenahi dalam dunia balap Indonesia. Salah satu yang paling besar adalah kebijakan pemerintah yang justru bikin para atlet mentok.
Otojatim.com - Pembalap Nasional Rifat Sungkar, mengungkapkan uneg-unegnya selama puluhan tahun meniti karier di dunia balap. Ia merasakan minimnya keberpihakan pemerintah pada kelangsungan dunia balap Tanah Air.
Menurutnya, Indonesia memiliki bibit-bibit pembalap yang unggul, namun tak disertai dengan fasilitas yang memadai sehingga sulit berkembang.
"Kita sebagai pembalap di Indonesia, yang sedih, mau mati, apa-apa disuruh bayar sendiri," ujarnya dikutip dari podcast Kasisolusi yang diunggah Rabu (17/4).
Lebih lanjut Rifat menceritakan pengalamannya membeli ban dari luar negeri yang harganya jadi lebih mahal berkali-kali lipat imbas dari tingginya pajak.
"Gua pernah beli ban di luar negeri sampai di sini harganya bisa 4 kali lipat dari harga aslinya. Itu untuk 1 ban, sedangkan mobil balap itu bannya paling kuat hanya bisa sampai 100 meter, rata-rata hanya 55 meter. Berarti gua harus ganti ban setiap 50 meter. Kalau bannya 4 ya harus diganti, tapi kan harganya mahal sekali. Lihat betapa mahalnya balapan di Indonesia," kata suami dari aktris Sissy Priscillia itu.
Karena ketidaktahuan berbagai pihak, mobil balap kerap dianggap sebagai mobil mewah, sehingga dikenai pajak tinggi. Inilah yang membuat para pembalap "mentok". Akhirnya mereka terbiasa dengan mindset "ngakalin" mobil lama.
Ironisnya, meskipun sudah legowo mengendarai mobil lawas demi tetap bisa balapan walaupun jauh tertinggal dari negara lain, para atlet ini masih juga mendapat sandungan.
"Sekarang saat lu mau membangun mobil balap, harus pakai mobil tua, karena kita (cuma) mampu beli mobil itu. Harga mobilnya 100 sampe 200 juta lah. Tapi karena mesin dilarang masuk ke Indonesia, gearbox, shockbraker, velg, dan sebagainya pajaknya berkali-kali lipat, ujung-ujungnya tetap mahal," katanya.
Rifat mengungkapkan bahwa biaya merakit sebuah mobil lawas jadi mobil balap harganya bisa mencapai milyaran rupiah.
"Untuk membangun BMW E36 yang keluaran tahun 90-an, itu butuh 1,5 miliar. Harga mobilnya cuma 50-100 juta, tapi masukin mesin dan spare part nya bisa habis 1,5 miliar karena pajak yang tinggi," ujarnya.
Padahal, masih menurut Rifat, di Eropa M2 Competition keluaran 3 tahun lalu, harganya cuma 500-700 juta. "Saking kompetitifnya, di sana mobil keluaran 3 tahun lalu udah jadi second layer dan third layer. Sudah murah pajaknya dan sebagainya karena sudah lewat masanya."
Terbayang kan, membangun mobil tahun 90-an butuh 1,5 milyar, sedangkan mobil keluaran tahun 2020-an di negara lain hanya berkisar Rp 500-700 juta. Kalau saja mobil M2 Competition tersebut bisa masuk ke Indonesia tanpa pajak, Rifat yakin dunia balap akan maju pesat. Investor pun bakal banyak berdatangan.
"Pesawat bekas boleh masuk ke Indonesia, alat tambang bekas bekas boleh, truk bekas boleh masuk. Tapi kenapa mobil dan motor balap gak boleh?" kata pria kelahiran 22 Oktober 1978 itu.
"Padahal (analoginya) sama saja kayak pesawat tempur yang lebih mahal dari pesawat komersil. Pesawat tempur dan sparepartnya masuk Indonesia untuk membela Indonesia, pajaknya 0. Kami, atlet balap yang sama-sama ingin membela Indonesia justru gak dikasih kesempatan yang sama dengan tentara. Padahal setiap kali kami pergi bertanding, pesannya Indonesia harus juara satu ya. Loh, gimana mau juara satu kalau lawannya nembak pakai bazoka sedangkan kita pakai pistol air," pungkasnya.
Rifat merasa dunia balap dianaktirikan di negeri ini. Hal ini sungguh disayangkan. Padahal, balap adalah cabang olahraga yang paling banyak mempekerjakan orang. Satu orang pembalap memerlukan dukungan dari 10 pekerja dalam timnya. Dengan majunya dunia balap maka diharapkan penyerapan tenaga kerja juga akan semakin banyak.