- Sirkuit Mandalika di bangun di tengah "surga". Sayangnya jarang ditemui event lokal digelar di sana. Kurangnya dukungan pemerintah pada dunia balap Tanah Air disinyalir jadi akar masalahnya. Benarkah kini Mandalika harus berjuang melawan sekarat?
Otojatim.com - Pertamina Mandalika International Street Circuit diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 November 2021. Lombok, Nusa Tenggara Barat dipilih sebagai bentuk pemerataan pembangunan yang tidak Jawa-sentris. Di samping itu, lahan, akses, dan view di sana terbilang sempurna untuk membangun sebuah sirkuit internasional sekaligus memamerkan keindahan Indonesia pada dunia.
Mandalika memiliki panjang lintasan 4,31 Km, lebar 14-16 meter, dengan 17 tikungan, aspal jenis Stone Mastic Asphalt yang terbaik di dunia, dan dapat menampung hingga 150 ribu penonton.
Sirkuit ini diharapkan dapat memberi multiplier effect dari segi ekonomi bagi masyarakat Lombok. Sejumlah event internasional pun digelar di sana. Sebut saja GT World Challenge, Asia World Superbike, hingga MotoGP.
Pembalap mobil, Rifat Sungkar mengakui kemegahan Sirkuit Mandalika. Hal ini disampaikannya dalam podcast Kasisolusi yang diunggah Rabu (17/4). Di saat yang sama ia juga mengungkapkan adanya awan hitam yang meliputi Mandalika.
"Berdasarkan pengalaman, gua tahu mana standar bagus, tidak bagus, istimewa. Nah, Mandalika ini dari segi lokasi bagus banget. Apalagi di wilayah Asia, secara geografis gak ada tandingannya. Aspalnya bagus banget," ujarnya.
Namun, Rifat juga mengungkapkan kekhawatirannya pada eksistensi Mandalika. Harus diakui gaung Mandalika memang hanya terdengar di kala ada event internasional. Selebihnya, cuma mengendap begitu saja. Padahal, cost perawatan dan cicilan utang pembangunan Mandalika terus berjalan.
"Gua sangat concern dengan masalah ini. Satu sisi gua bangga karena Mandalika sangat luar biasa bagus, namun di sisi lain khawatir. Khawatirnya itu begini, saat bikin sirkuit ini, pernah kepikiran gak sebenarnya yang bakal ngisi konten selain Moto GP dan F1 itu apa?" ungkap Rifat.
Menurutnya, dunia balap itu sangat luas. Seharusnya Mandalika bisa memfasilitasi semua kegiatan balap anak bangsa. Namun disayangkan, kemegahan Mandalika seakan hanya fatamorgana, karena fasilitas di dalamnya tidak dimaksimalkan.
"Di bawah kelas F1 dan Moto GP itu kan sebenarnya ada berapa puluh jenis kendaraan yang bisa dibalapin. Misalnya F2, F3, F4, Moto 2, Moto 3, Super bike, dan masih banyak lagi," kata pria 45 tahun itu.
Menurut Rifat, Sirkuit Mandalika belum bisa menaungi seluruh kelas balap tersebut. Sehingga jarang sekali ada event balap lokal digelar di sana.
"Mandalika punya 40 pit (garasi), tapi satu kali balapan, starter grid (titik start) balapnya bisa sampai 30. Misal, satu hari ada konten (ajang balap) 10-15 kelas. Berarti ada 30 (pembalap) dikali 10 sampai 15 (kelas). Loh, mau ditaro mana sisanya?" ujar Rifat.
Rifat menduga kekurangan-kekurangan seperti itu terjadi karena minimnya pengetahuan soal kebutuhan balap dalam perancangannya.
Selain itu, Rifat menilai regulasi Indonesia sangat mempersulit para pembalap untuk mendapatkan kendaraan balap yang layak untuk digunakan balapan. Ini juga menjadi penyebab sepinya Mandalika.
"Kita amat sangat perlu menyelamatkan Mandalika, karena ini aset yang luar biasa. Caranya gimana? Kita perlu ada regulasi yang mengatur supaya mobil dan motor balap baru ataupun bekas bisa masuk ke Indonesia," kata pembalap yang berhasil meraih podium di Asia Pasific Rally Championship tersebut.
Rifat menyayangkan bagaimana peraturan Pemerintah seakan tidak berpihak pada para atlet balap. Mahalnya pajak untuk kendaraan balap dan spare partnya, serta minimnya dukungan untuk ikut kejuaraan membuat dunia balap Indonesia menjadi kelam.
"Regulasi di Indonesia untuk memasukkan kendaraan balap itu gak ada. Jadi saat sirkuitnya jadi, siapa yang mau balap naik mobil balap yang proper di Mandalika? Ini masalahnya. Dan sepertinya masalah ini ya karena ketidaktahuan," ujarnya.
Rifat memberikan ilustrasi betapa sulitnya menjadi pembalap di Indonesia. "Gua pernah beli ban di luar negeri sampai di sini harganya bisa 4 kali lipat dari harga aslinya. Itu untuk 1 ban. Sedangkan mobil balap, bannya paling kuat hanya bisa sampai 100 meter, rata-rata hanya 55 meter. Berarti gua harus ganti ban setiap 50 meter. Kalau bannya 4 ya harus diganti semuanya. Tentu saja harganya mahal sekali. Lihat betapa mahalnya balapan di Indonesia," paparnya.
"Jadi, kalau kita mau memajukan Mandalika, Pemerintah pusat sampai pemerintah daerah harus bersinergi. Jangan sampai cuma tahu cara bikin sirkuit, tapi tahu gak cara ngisi sirkuit?" tambahnya.
Perlu diingat, megaproyek Mandalika menelan biaya sangat besar. PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), ditunjuk menjadi BUMN pengembang dan pengelola kawasan pariwisata the Mandalika.
Berdasarkan keterangan ITDC, untuk membangun sarana dan prasarana sirkuit Mandalika total investasi yang dibutuhkan sekitar Rp8,9 triliun yang dibagi menjadi Rp5,5 triliun untuk pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan tol, jembatan, saluran air, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, sedangkan Rp3,4 triliun digunakan untuk pembangunan fasilitas pendukung, seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, lapangan golf, dan tentu saja sirkuit itu sendiri.
Seperti diketahui, proyek pembangunan Mandalika meninggalkan utang sebesar sebesar Rp 4,6 triliun yang terbagi atas kewajiban pembayaran jangka pendek sebesar Rp1,2 triliun dan Rp3,4 triliun utang jangka panjang. Pemodalnya datang dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Himpunan Bank Negara (Himbara), dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Budget mahal maksimal ditambah strategi minimal, apakah Mandalika hanya akan jadi produk dari ambisi yang ugal-ugalan?